Sosok yang satu ini kelihatannya biasa-biasa saja, dengan tubuh yang kecil, kurus dan kulit agak gelap, banyak orang tidak menyangka bahwa dia adalah seorang Pendeta. Kalau diperbandingkan sosoknya dengan pendeta-pendeta di daerah perkotaan, dia kalah jauh, namun kalau diceritakan tentang pelayanan dan dedikasinya bagi pekerjaan Tuhan, tidak ada yang akan menyangkal bahwa dia adalah sosok pendeta misionaris yang membanggakan.
Lulus dari fakultas theology UNKLAB, Pdt. Alfian Sadondang, demikian nama lengkapnya, dipanggil Tuhan untuk melayani wilayah kerja di Mission Papua. Pengalamannya sebagai seorang missionaris saat dia masih kuliah mendorong dia untuk siap ditugaskan dimana saja sesuai rencana Tuhan.
Ndugundugu, adalah nama sebuah desa di pedalaman pulau Papua diantara jejeran pegunungan Jayawijaya. Ditempat itulah sejak tahun 2005 beliau melayani bersama dengan istri dan anak-anaknya. Perjalanan menuju Ndugundugu tidaklah mudah, dari Jayapura mereka harus naik pesawat Cessa kecil selama 2,5 jam untuk sampai di kota kecamatan Paniai, kemudian dari kota kecamatan tersebut mereka harus berjalan mendaki selama 6 jam untuk tiba di lokasi rumah tempat tinggal mereka. Sementara itu, daerah pelayanannya sebagai pendeta distrik tidak hanya di Ndugundugu, tetapi juga dibeberapa tempat disekitarnya dalam radius 5 -7 jam perjalanan jalan kaki.
Tekadnya untuk memasuki daerah-daerah baru harus berhadapan dengan berbagai rintangan dan ancaman. Satu rombongan masyarakat suku setempat dengan panah dan tombak pernah datang ke rumah beliau dan meminta 3 kepala manusia sebagai korban bilamana hendak memasuki daerah mereka. Namun Tuhan itu luar biasa, dia menjaga anak-anaknya dari mara bahaya dan tetap membuat dia sukses dalam setiap tugas pekerjaan yang diberikan. Seorang kepala suku yang tertarik dengan pelayanan dari Pdt. Alfian Sadondang, maju dan menantang masyarakat yang menolak kehadiran hamba Tuhan di daerah mereka.
Bersama istri dan 4 orang anak-anak yang masih kecil-kecil (usia tertua baru 7 tahun), Pdt. Alfian Sadondang giat memberitakan kabar keselamatan kepada jiwa-jiwa di daerah pedalaman Papua tersebut. Lokasi pelayanan yang berada di +/- 5.000m diatas permukaan laut, dengan hawa dingin yang menusuk, serta serba tidak ada apa-apa (tidak ada pasar, warung, rumah sakit, sekolah, dll), kadang supply makanan sudah habis dan anak-anak harus berpuasa sambil menunggu berkat yang Tuhan berikan kepada mereka, keluarga misionaris tersebut tetap tinggal dan terus bekerja.
Berbagai profesi mereka pegang sekaligus, pendeta, guru, perawat dan dokter. Sang istri dengan setia mendukung segenap pelayanan yang dilakukan suaminya, bahkan dia juga terlibat langsung dalam setiap aktivitas pelayanan yang mereka lakukan di ladang pelayanan mereka.
Kalau orang lain mungkin berpendapat bahwa kehidupan mereka itu amat menyedihkan, tapi mereka katakan hidup mereka sangat luar biasa dan menggembirakan.
Saya percaya mereka hidup lebih akrab dengan Tuhan Yesus dibandingkan kita yang hidup lebih baik diperkotaan.
Tuhan kiranya memberikan kekuatan dan keteguhan kepadamu dan keluarga di dalam penyelesaian kabar sukacita keselamatan bahkan sampai ke ujung dunia pedalaman Papua.
Kamis, 25 Juni 2009
Misionaris Pedalaman Papua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar